Minggu, 30 Januari 2011

CERPEN : Romeo And Juliet In Paris

Aku tidak bisa tidur di bangku kursi yang sangat tidak nyaman untukku. Tidak ada radio yang bisa menghiburku saat ini, karena sebentar lagi duniaku akan berubah dari sebelumnya. Aku akan pindah ke Perancis untuk belajar soal fashion design. Umurku masih sembilan belas tahun, tapi cukup untuk lepas dari pantauan bokap nyokap. Katanya, aku cukup mandiri. Di dalam hati, aku belum tahu itu benar atau tidak. Karena aku suka mainin kartu kredit bokapku, bukan karena aku shopilic. Cukup dengan sesuatu yang kuinginkan, aku bisa nguraskan ratusan ribu. Mulutku minta untuk ngobrol sama siapa saja, setelah beberapa jam tidak ngomong. Gimana bisa? Orang tidak ada yang kenal aku, begitu juga sebaliknya. Pesawat telah mendarat, dan semua penumpang keluar desakan. Aku milih untuk duduk dulu daripada sesak nafas karena berada di arus lautan penumpang ini. Setelah dipastikan sudah tidak ada orang tersisa, aku keluar dengan santai. Aku masuk ke dalam bus, yang akan bawa aku ke dalam bandara. Bus ini seperti kereta ala Jepang, yang pernah kubaca di majalah Travelling. By the way, namaku Juliet. Kenapa namaku sama dengan yang ada di dalam karya William Shakespeare? Aku tidak tahu pasti, tapi nyokap bilang nama Juliet itu terbilang keren. Aku bukannya tidak suka nama ini, hanya saja... aku tidak mau kisah hidupku ini sama dengannya. Masa aku akan mati karena belahan jiwaku pergi selamanya? Bombay...Di dalam bandara, aku ambil satu koper dan tas kecilku. Tas kecil ini berisi alat riasku yang akan kupakai kalau ada semacam acara resmi. Tanpa sengaja, pundakku nyenggol perut seseorang ketika aku mulai berdempetan dengan sejuta umat manusia. Tepatnya, seorang cowok dengan baju serba hitam dan berkacamata hitam. “Maaf...” Kukatakan dengan suara sekecil mungkin. Cowok itu hanya diam, mungkin dia tidak rasakan senggolanku tadi. Aku bergegas keluar dari lautan penumpang begitu ngecheck semua barang di tas kecil. Cowok itu melirikku, sampai lepaskan kacamatanya. Aku terpanah. Aku keluar dari bandara, dan lihat beberapa orang angkat poster bertulisan nama penumpang. Aku mencari-cari nama di poster tersebut, tapi tidak ketemu juga. Sampai muncul seorang cewek hampiri aku. “Kau pasti Juliet, kan?” Aku bersyukur sekali, aku tidak perlu masuk dan rapikan rambut begitu keluar dari lautan penumpang. “Iya, benar!” Cewek itu tersenyum padaku, dan pegang tanganku erat-erat. “Ini Robert, salah satu anggota keluargamu. Kau ikut aku, cepat. Tempatnya nyesek banget.” Badanku ketarik, begitu dia tarik tangan. Kita berdua masuk ke dalam lautan penumpang, dan berhasil temukan taksi kosong. Taksi tersebut langsung pergi begitu kami masuk dan keluar dari wilayah bandara. “Syukurlah, aku datang tepat waktu. Kau pasti capek karena perjalanannya kejauhan.” Cewek itu hanya senderan di bangku, dia sangat kelelahan. Aku capek dalam berdiam diri dan hanya jalan sebentar, kegatelan untuk lakukan hal lain selain dua hal itu. “Namamu Juliet ya? Berarti, belahan jiwamu Romeo. Canda kok.” Aku teringat sekilas, cerita Juliet lewat film yang dimainkan oleh Leonardo Dicaprio. Aku sedikit tidak percaya, kalau akan ada semacam reinkarnasi untuk pasangan tragis itu. Tidak ada yang mau akhir kisah para pasangan kekasih berakhir seperti Romeo dan Juliet. Taksi berhenti di depan sebuah gedung kecil, yang Robert bilang itu rumah yang akan kutinggali. Ini seperti berada di depan bekas tempat pemadam kebakaran, tapi warna dindingnya aku suka. Sedikit norak tapi menantang. Pintu depan terbuka dan muncul pria dengan kacamata tebal. Tampangnya kayak kacamata bohongan. Robert ngatakan pria itu bokapnya, aku malu setengah mati. Pria itu angkat koperku, tampaknya berat sekali. Aku paksakan diri untuk bawa tas kecilku, karena tidak mau sok orang asing. Begitu masuk, aku seperti berada di dalam keluarga kecil. Semua terlihat minim. Robert tersenyum, malu seolah memang begini rumahnya. Aku berpikir, tidak masalah. Cukup dengan tidur nyenyak dan makan teratur, aku puas. Aku minta pada bokapnya Robert untuk tidak bawa tas koperku ke atas, malahan aku yang akan membawanya ke atas. Beliau hanya ngangguk, dan balik ke ruang tamu. Mungkin karena belum tahu bahasa yang akan jadi bahasa komunikasi kami. Aku naik tangga, dan melihat deretan lukisan yang garisnya ribet sekali. Tanpa kusadari, langkah kakiku mulai melambat. Begitu masuk ke dalam kamar, aku loncat ke tempat tidur. Tinggalkan tas koperku di tergeletak di lantai dan tas kecilku masih kupegang. Kukeluarkan Hp dan SMS sama bokap nyokap dan teman-temanku di Singapura. Bahwa aku sudah tiba di dalam negara paling romantis sedunia, Perancis. Robert secara baik hati ngajak aku makan siang bersama keluarganya di sebuah restoran Italia. Aku hanya habiskan waktu sedikit untuk bersantai berupa main SMS. Tapi, aku tidak mau punya pandangan buruk dari keluarga Robert. Kebetulan, nyokapnya seorang chef di restoran Italia. Tetap saja, tidak akan dapat potongan harga. Robert ceritakan betapa indahnya kota Paris itu selagi bertiga jalan kaki. Sudah ada kebun bunga yang masih terlihat indah, meski sudah ratusan tahun. Ada juga menara Eiffel yang sering dijadikan kunjungan pertama bagi para turis. Tapi, aku kepikiran sama cowok tadi, terlihat misterius tapi menawan. Kami bertiga masuk ke dalam restoran Italia, meja-meja pada penuh. Muncul seorang wanita dengan rambut hitam dan bermata biru. Dia duduk di meja kosong dengan seragam chef. Lihat Robert tiba-tiba berjalan mendahuluiku, aku yakin wanita itu nyokapnya. Aku sama bokapnya Robert nyusul Robert yang lagi cium kedua pipi nyokapnya. Sama saja dengan waktu aku berjumpa sama teman-temanku. Begitu duduk di meja makan, nyokapnya Robert bergegas masuk ke dalam dapur. Robert ngajak aku ngobrol dengan bahasa Inggris yang sedikit kumengerti. Begitu aku iseng-iseng ngoleh ke kanan kiri, aku kaget. Aku lihat cowok di bandara, duduk di meja belakangku. Dengan wajahnya yang dingin bahkan es. Robert ngoleh kepadaku, nangkap aku lagi mandang cowok yang kulihat di bandara. Dia cubit aku dengan kukunya yang panjang, dan rasanya sakit sekali. “Cowok itu ganteng banget, kau kenal dia?” Aku hanya geleng kepala, dan ceritakan pertemuanku sama cowok itu di bandara. Robert itu hanya ketawa, tapi tidak sampai kedengaran sama orang. “Juliet, gak ada namanya kebetulan. Kalian pasti ditakdirkan untuk bersama, kalau begitu ceritanya. Mungkin dia itu namanya Romeo.” Cowok itu terlihat bukan seperti Romeo. Lihat saja, dia bahkan tidak ngobrol meski ada teman sebangkunya. Meja makan kedatangan pizza dengan extra keju dan chicken soup dari masakan nyokapnya Robert. Perutku langsung berkata, ini kesempatan untuk puaskan diriku yang dari tadi, hanya makan irisan daging sapi tipis dengan kaldu yang sangat sedikit dari pesawat. Aku ambil dua potongan pizza dan satu mangkuk kecil chicken soup. Setelah itu, perutku penuh. Begitu melirik ke belakang, cowok itu sudah tidak ada. Aku sebal, karena aku belum minta maaf soal di bandara. Bukan karena aku terpanah oleh wajahnya yang bagaikan es. Aku keluar dari restoran dengan keluarga Robert yang lengkap. Kami berempat jalan-jalan di taman bunga, sambil abadikan bokap nyokapnya Robert untuk berduaan. Begitu balik ke rumah, aku bergegas masuk ke dalam kamar. Komputer modern kunyalakan dan internet connection nyala dalam otomatis. Aku langsung e-mail sama Amanda, temanku di Singapura. Begitu cerita kejadian di bandara dan ciri-ciri cowok tersebut, Amanda berkata. “Kau beruntung, langsung lihat cowok keren di Paris. Apa dia sempat nyapamu?” Aku bilang, hanya minta maaf padanya dalam suara sekecil mungkin. Juga kedua kalinya ketika di restoran. Aku tidak bilang, gambaran wajahnya begitu dingin dan tidak ngoleh pada teman sebangkunya. Dia hanya berkomentar begini. “Siap-siap untuk sebuah kejutan, dia bisa hadir di hidupmu untuk selamanya. Bisa hal baik atau buruk.” Malas kalau topiknya seperti ini, karena aku belum punya pacar. Sebelum nginjak sembilan belas tahun hampir semua temanku sudah pernah dapat pacar dan patah hati. Sedangkan aku, belum pernah. Aku balas jawabannya, dan seperti ini nih. “Jangan mentang namaku Juliet, belahan jiwaku Romeo. Aku muak dengan cerita tragis seperti cerita cinta mereka.” Beberapa saat kemudian, muncul balasan e-mail darinya. “Kenapa kau gak suka? Bukannya cerita itu paling romantis sedunia? Para cewek pasti klepek-klepek bayangin cowok seperti Romeo.” Aku mau muntah, tidak suka jawabannya. Setelah bilang mau off, kumatikan komputer. Aku tidak tahu apa yang ingin kulakukan saat ini.  Robert masuk ke dalam kamar, dengan bawa majalah. Dia bergegas hampiri aku yang mau sekedar terlentang di lantai untuk releks. “Juliet, aku lagi ingin curhat. Karena semua temanku lagi ke luar kota, aku hanya punya kamu. Boleh ya?” Aku tersenyum, beritahu kalau dia boleh ganggu waktu istirahat. Tentu saja, aku tidak bilang seperti itu. “Boleh saja, kita kan butuh semacam obrolan, supaya gak kayak orang asing. Sini...” Robert jatuhkan dirinya ke lantai, bersama majalah yang covernya artis Perancis yang tidak kukenal. “Menurutmu, aneh gak kalau cewek usiaku pacaran sama orang perusahaan?” Aku belum tahu pasti arah obrolan ini, selagi aku belum tahu usia Robert berapa. Tapi, aku tahu... Robert lagi pedekate.  “Kau berumur berapa?” Ini terdengar formal, tapi aku usahakan untuk segaul mungkin. Robert tersenyum malu sambil nunduk kepala. “Tujuh belas tahun dan dia... dua puluh dua tahun. Kejauhan ya?” Lebih tua lima tahun, dan orangnya itu tampaknya siap untuk jalani hubungan serius. Robert masih seusia cewek remaja, dan berpikir... dia belum siap untuk hal semacam itu. “Apa kau sayang dia?” Pertanyaan tadi ngenai jantungnya, terlihat dari ekspresinya. Beberapa detik, mukanya merah padam. “Sayang banget, Jul. Kita sudah pacaran beberapa bulan. Bokap nyokap kita sudah saling kenal.” Kuharap bokap nyokapnya Robert ngerti, kalau dia punya banyak hal yang ingin dia raih dalam hidup ini.  “Apa cowok itu tahu, usiamu berapa dan kau masih bersekolah?” Robert sedikit tertawa, itu bikin aku panik. “ Dia tahu, kok. Aku gak sekolah formal. Bokap nyokap ambil homeschooling, karena takut sama kejadian bullying akhir-akhir ini.” Oke, aku sedikit kasihan. Apa dia dapat teman lewat pertemuan secara tidak sengaja? Robert ngalih obrolan ini. “Kau masih pikiran sama cowok di restoran itu ya?” Aku diam, ambil majalah dan buka secara acak. Robert tertawa geli, lihat kelakuanku seperti ini. “Kau kayaknya anti sama cowok, pernah disakitin?” Aku geleng kepala, berusaha sembunyikan wajahku yang sedikit merah. “Bukan... hanya saja, aku gak bisa nganggapinya..” Robert sekali lagi tertawa geli.  Hari sudah menjelang sore, dan pemandangan semakin indah. Aku selesai istirahat, dan aku mau jalan sendirian. Robert peringati aku, untuk jangan terlalu jauh. Karena daerah ini gampang untuk tersesat. Aku ngerti, tapi ada sedikit kesal. Ini seperti kembali pada anak kecil berumur lima tahun, yang takut diculik. Aku putuskan untuk duduk di tangga depan pintu. Untuk sekedar hirup udara. Muncul kucing yang tampaknya tidak dihiraukan, terlihat dari betapa kumalnya kucing itu. Kuelus kucing itu dengan lembut, dia nyaman. “Sayang, kau kasihan banget. Apa kau ada pemiliknya?” Terdengar sebuah langkah kaki, terdengar keras. Kayaknya jarak dekat denganku. Apa jangan-jangan... kucing ini miliknya?  Kupeluk kucing ini seperti meluk seorang bayi. Siap-siap saja untuk berhadapan dengan pemilik yang ngira, aku telah ngambil kucing ini. Dia muncul dari balik dinding, dan aku ingat dia. Dia cowok yang telah kujumpai dalam waktu dua kali. Jadi, kucing ini miliknya? Aku harus berkata apa nanti? Tergantung apa yang akan ia katakan nanti. Sayangnya, cowok itu sudah sangat dekat sama aku. Jaraknya, bagaikan kami akan dansa. “Maaf, ini kucingku.” Aku secara cepat nganggapinya dan serahkan kucing ini ke dalam pelukan cowok ini. Kucing ini buka mulut dan tunjukkan taringnya, dia tidak nyaman sama cowok. “Makasih, sudah nemuin kucingku.” Lalu, dia pergi begitu saja. Aku malah tambah sebal sama dia.  “Wow, dia dingin banget sikapnya. Cuma gitu doang? Kau pasti kesal banget.” Robert berjalan ngikutin aku yang mau masuk ke dalam kamar mandi. Wajahku masih masam, ngingat perlakuan cowok itu yang sangat tidak hormat padaku. Setidaknya, kenalkan diri sebelum pergi bawa kucingnya itu. “Ya kesal dong! Dingin banget wajahnya, bahkan gak kasih tahu namanya. Bikin penasaran saja.” Robert tertawa kecil, sementara aku sikat gigi pakai odol rasa stroberinya. “Kalau gitu, kau harus cekatan. Coba kalau ketemu lagi, kau tanya namanya. Cukup kan buat kamu?” Mana mungkin aku bertanya, apalagi dia tidak tampak gampang untuk diajak ngobrol. “Aku pusing mikirinnya, besok aku sudah sekolah fashion. Aku harap dia gak datang lagi padaku.”  Robert mau tancap gas, sama cowoknya untuk nonton opera. Dia sudah dandan habis-habisan, tapi tidak norak. Pantes, dia suruh aku untuk mandi cepat-cepat. Cowoknya Robert masuk ke dalam dan dia cepika-cepiki sama Robert. Robert kenalkan cowoknya padaku, namanya Jason. Dia terlihat ramah dengan caranya tersenyum sopan padaku, sebagai orang asing. Robert melihat jam tangan kecilnya, kaget. “Kita sudah telat, sayang. Juliet, aku tancap gas dulu ya. Nanti, kita ngobrol.” Begitu katanya sebelum rangkul lengan kanannya Jason keluar dari rumah ini. Butuh beberapa detik, untuk sadar. Bahwa aku sendirian.  Di kamar, radio kunyalakan dan hanya ada yang bahasa Perancis. Untungnya, masih ada lagu opera lama yang mulai kusuka. Badanku telantang di tempat tidur, sambil ngemil sebungkus chip potato. Udara terasa dingin, apa cuacanya mau nuju salju? Aku sangat menantinya. Di Singapura, aku sudah berkali-kali lihat salju di dalam hidupku dan suka buat boneka salju. Apalagi kalau main perang-perangan. Bedanya, aku nantikan apalagi di Perancis masuk musim dingin. Akan terlihat indah dan super romantis. Bukan berarti, aku mau segera gaet cowok dan ajak dia untuk lihat pemandangan yang penuh salju. Aku mulai kepikiran akan seperti apa hariku nanti kalau masuk ke sekolah fashion design. Pasti akan luar biasa. Hpku berdering dan kuangkat dengan mata yang hampir tertutup. Ternyata, nyokap. “Gimana, Jul? Kau senang di sana? Keluarga di sana baik sama kamu kan?” Aku tersenyum, sadar beliau sangat khawatir padaku. Aku, satu-satunya putri... berada di seberang dunia. “Semua baik-baik saja, keluarga di sini sangat menyenangkan.” Bisa kubayangkan, senyuman lega dari beliau. Bisa kudengar, suara keramaian di balik Hpku. Nyokap kayaknya lagi ngadain arisan sama teman-temannya. “Ma, arisannya jangan keseringan ya. Kasihan kan papa sudah susah payah biayain hidupku di sini?” Nyokap tertawa geli, beliau sudah terbiasa sama nasihat satu ini. “Arisan, mama selalu pakai uang jerih payah.”  Aku helakan nafas, seolah beliau sudah jawab jawaban yang sama. “Nanti, ma... kalau ada apa-apa...” Beliau motong kekhawatiranku. “Pokoknya, gak usah khawatirkan soal biaya di sana. Kau harus belajar serius, untuk cita-citamu menjadi designer. Dan satu hal lagi...” Aku gugup untuk dengar nasihat nyokap, kadang bisa candaan juga serius. “Mama pingin kau punya pacar! Kau anak cewek, seharusnya sudah pernah pacaran sejak SMA! Ini sudah sembilan belas tahun! Mama tunggu your prince ya! Bye!” Telepon pun terputus, dan aku matung. Nyokap minta aku untuk punya pacar? Apa beliau siap untuk lihat cowok pilihanku? Bahkan, aku tidak punya tipe cowok yang jadi kriteriaku. Arggh! Sebelum tidur nyenyak untuk hari esok, aku bukakan jendela kamar dan kepalaku keluar. Udaraku segar, terbang oleh angin malam. Andaikan Singapura ada angin sesejuk ini, aku tidak akan mau pindah ke sini. Di depanku, ada wanita tua berbadan gemuk dengan berpakaian baju tidur terusannya. Beliau nyanyikan lagu seriosa, dengan mata tertutup. Aku nonton nyanyiannya itu dan merasa hati ini sejuk. Seperti baju sedang dicuci pakai mesin cuci ditambah dengan sabunnya. Ngingat hari sudah larut malam, aku berganti baju dengan piyama tidurku dan loncat ke dalam tempat tidur. Jendela kubiarkan terbuka, aku jatuh cinta sama angin malam di sini. Dingin namun rasa menthol.

2 komentar:

  1. nice postingan :) mampir ke blog ku juga yah http://dewdewyanty.blogspot.com/ yah thx :")

    BalasHapus
  2. baru liat komentarnya nih hehe makasih :D postingan kamu juga bagus-bagus :)

    BalasHapus